Sebuah Keinginan yang membuat kesempurnaan menjadi sebuah syarat utama yang tak berlaku.
Ahmad Junaedi, akrab disapa Dedy, 39 tahun silam terlahir dengan kedua kaki lumpuh layu, lutut menjadi tumpuan untuk aktifitas sehari-hari. Namun bungsu dari empat bersaudara ini, sejak kecil seperti tak hendak terus meratapi kekurangannya. Dalam kenangan teman-temannya, semasa kecil Dedy bermain bersama anak-anak sebaya seolah tak memiliki keterbatasan. “Ya lari-lari, malah ikut bermain bola,” kenang seorang kerabatnya.
Ketika dewasa, Dedy pun ingin terus hidup normal. Dengan bahasa isyarat, ia mengatakan tak pernah ingin menadah belas kasih orang dengan menjadi pengemis, maka menjadi tukang parkir di salah satu sudut keramaian di Jalan Ciledug Raya telah ia lakoni puluhan tahun. Sampai sekarang.
Saat jalanan macet dan ini sering terjadi karena kian bertambah jumlah kendaraan, Dedy tak segan meninggalkan tempat parkir beranjak menuju persimpangan jalan. Dengan tubuh tak lebih tinggi dari sepeda motor, ia memberi aba-aba mengatur jalan. Tangannya bergerak-gerak menahan dan memberi giliran pada arus kendaraan.
Sekilas ngeri melihat tubuh kecil Dedy berada diantara belantara berbagai rupa kendaraan. Namun bunyi peluit dari mulut seseorang yang dipenuhi oleh rasa percaya diri mampu menyingkirkan kekhawatiran. Dari semula kasian, pemakai jalan pun merasa segan untuk kemudian patuh dalm antian. Maka cairlah kemacetan.
Untuk jasanya membantu mengatasi kemacetan, Dedy tak prnah menadahkan tangan, tetapi sesekali pemakai jalan mengulurkan uang receh sebagai tanda simpati dan terimakasih, bahkan seseorang anggota Polisi bersimpati pada kesungguhannya ikut mengatur jalan, memberi Dedy seragam Polisi yang sekarang ia pakai.
Lain soal untuk jasa parkir. Menggunakan isyarat jari, ia menyebut tarif 2.000 perak. Maklum, ia harus membaginya untuk setoran. Bahkan pemerintah pun memungut dari orang-orang yang penuh keterbatasan fisik seperti Dedy.
Sesekali ketika jalanan telah lancar, ia kembali ke kursi roda usang di sudut persimpangan melepas lelah atau sekedar menghela nafas di antara semburan asap knalpot kendaraan. Begitu macet lagi, ia akan segera meninggalkan “posko” untuk kembali turun ke jalan. Terus berulang kali seperti itu, karena kemacetan telah menjadi kutukan yang menyertai kehidupan kota, seperti keterbatasan fisik yang harus di sandang Dedy sepanjang hayat.
0 komentar:
Post a Comment
tinggalkan pesan