Monday, October 3, 2011

Bawean Perlu Diselamatkan

Oleh : Anis Hamim

Penulis adalah Putra Bawean, bekerja di United Nation Development Program (UNDP) Indonesia. Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis, dan tidak mesti mencerminkan pandangan Lembaga UNDP.

Sudah jamak kita tahu pentingnya hutan bagi kehidupan manusia. Hutan tidak hanya menjamin ketersediaan oksigen, tetapi juga menyerap polusi yang ditimbulkan aktivitas manusia seperti pembakaran/ kebakaran, asap pabrik dan asap kendaraan. Pohon-pohon di hutan juga menyerap hujan serta menjaga kualitas dan ketersediaan air agar layak kita pakai untuk keperluan sehari-hari (minum, masak, mandi, dan cuci).

Biarpun begitu vital, kita sangat prihatin bahwa semakin hari kawasan hutan di Pulau Bawean semakin rusak saja. Penebangan terjadi dalam skala membabi buta tanpa aturan. Dampaknya sudah terasa sekarang; volume pasokan sumber air pegunungan yang selama ini sangat diandalkan masyarakat Bawean sudah jauh menurun. Bahkan di beberapa kawasan bisa kering sama sekali, khususnya pada musim kemarau seperti saat ini. Pada musim penghujan, mudah sekali terjadi longsor bahkan banjir bandang seperti yang terjadi di daerah Candi, kecamatan Tambak beberapa tahun lalu. Malangnya, bencana ini tidak hanya menimpa para perusak hutan atau mereka yang mendapatkan keuntungan darinya, tetapi juga kita semua yang tidak ikut-ikutan dengan mafia kehutanan tersebut.

Jika perusakan ini terus berlangsung, tidak lama lagi kawasan hutan Pulau Bawean akan seluruhnya menjadi gundul. Maka bencana besar akan menimpa kita semua, khususnya yang tinggal di Pulau Bawean. Bencana kelangkaan sumber air akan meluas dan longsor serta banjir akan semakin sering terjadi. Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin Bawean harus ditinggalkan penghuninya karena tidak punya lagi sumber air yang cukup sebagai daya dukung utama kehidupan.

Apa yang Harus dilakukan?
Sudah jelas bahwa hutan di Pulau Bawean adalah ‘milik bersama’ termasuk generasi mendatang. Sebelum terlambat, kawasan hutan ini harus ditata kembali dan dipetakan. Hutan-hutan yang masih utuh mesti di ’kukuhkan’ secara resmi sebagai taman ‘Pulau’ yang tidak boleh disentuh untuk tujuan apapun. Selanjutnya, hutan-hutan yang setengah rusak mesti direboisasi (ditanam kembali) dan ditetapkan sebagai kawasan hutan kembali. Atau bisa juga hutan yang rusak dikonservasi dengan tanaman hutan produktif yang bisa menyerap air dan dikelola oleh dan/ atau untuk kesejahteraan orang-orang atau masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tersebut. Hanya saja penebangannya harus memilih yang sudah cukup umur (tebang pilih) dan proporsional dengan penanamannya kembali.

Dengan tekad dan perencanaan bersama antara masyarakat dan aparat pemerintah kabupaten /kecamatan /kelurahan, upaya ini bukanlah mustahil dilakukan. Inilah yang disebut dengan konsep Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (Sustainable Forest Management). Konsep ini berangkat dari pandangan bahwa idealnya hutan tidak hanya harus hidup tetapi juga mampu memberikan kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya. Demikian juga sebaliknya, masyarakat tidak boleh mengambil penghidupan dari hutan dengan cara ‘membunuh’ kehidupan hutan itu sendiri. Dengan demikian, kehidupan hutan dan masyarakat bisa saling menopang.

Wacana Global
Padatingkat global, masalah pelestarian hutan telah menjadi agenda prioritas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dewasa ini. Apalagi dengan munculnya fakta ilmiah bahwa iklim global sudah menjadi ‘semakin panas’ terutama sebagai dampak aktivitas industri dan transportasi dalam dua abad terakhir. Jika bumi menjadi semakin panas, dikhawatirkan benua es di kutub utara dan selatan akan mencair dan alirannya akan menambah volume air laut sehingga bisa naik dan menenggelamkan banyak pulau dan daratan. 

Ternyata perubahan iklim bukan hanya menaikkan temperature bumi, tetapi juga membuat siklusnya menjadi tidak teratur. Di Indonesia, sudah sulit sekali mempedomani rumus siklus Oktober – April sebagai musim penghujan, dan April –Oktober untuk musim kemarau. Menurut siklus normal, bulan Oktober ini seharusnya sudah mulai musim penghujan, tetapi di banyak kawasan di Indonesia, tidak ada tanda-tanda kemaraua kan segera berakhir. Bahkan pada beberapa tahun terakhir terjadi musim dan cuaca ekstrim; musim penghujan (kadang disertai badai) sepanjang tahun tanpa musim kemarau atau sebaliknya.

Upaya Global dan Nasional
Komunitas antar bangsa sudah sepakat bahwa harus ada tindakan drastis untuk mengatasi pemanasan global ini sebelum berakibat ‘kiamat dini’ bagi bumi dan manusia. Salah satu yang penting dilakukan adalah menjagah utan agar tetap berfungsi optimal. Dalam berbagai studi ilmiah ditegaskan bahwa belum ada teknologi apapun yang bisa menyerap Co2 (KarbonDioksida) dan memprosesnya menjadi O2 (Oksigen). Satu-satunya teknologi yang bisa melakukan tugas ini hanyalah pepohonan (baca: hutan) ciptaan Tuhan. Karenanya, agar mesin industry dan inovasi teknologi bisa terus berjalan, dunia membutuhkan terjaganya kawasan hutan.

Malangnya, kebanyakan kawasan hutan hanya tersisa di Negara-negara berkembang seperti Indonesia, Vietnam, Afrika Selatan, Brazil dan sebagainya. Sementara hutan disebagian besar negara maju khususnya Eropa Barat dan Amerika sudah habis. Mereka telah membabatnya untuk tujuan Industrialisasi dan pembangunan ekonomi mereka dalam seabad terakhir. Pertanyaannya, apakah adil meminta Negara-negara berkembang untuk menjaga hutannya, padahal mereka juga membutuhkan ‘penebangan’ hutan untuk menggenjot industrialisasi dan pertumbuhan ekonominya. Atau dengan kata lain, enak saja Negara-negara maju menimpakan tanggungjawab global penjagaan pasokan oksigen hanya kepada Negara-negara berkembang. Padahal oksigen tersebut juga digunakan oleh penduduk Negara-negara maju.

Ketegangan tentang masalah ini lalu mendapatkan solusinya dengan kesediaan kedua belah pihak untuk sama-sama berkontribusi. Setelah melalui beberapa putaran negosiasi pada forum UN framework Convention for Climate Change (Kerangka kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim - UNFCC) yang antara lain diselenggarakan di Bali pada tahun 2007, disepakati bahwa Negara-negara berkembang yang masih punya hutan akan menjaga hutan mereka, sementara Negara-negara maju yang tidak lagi punya hutan akan memberikan insentif kepada Negara yang punya hutan. Insentifnya berupa kompensasi dana besar bagi Negara dan masyarakat yang berkomitmen untuk menjaga atau melakukan reboisasi kawasan hutannya dalam rangka mengurangi penggundulan dan degradasi hutan global (REDD). Di Indonesia, mekanisme penghitungan dan besarnya dana kompensasi saat ini sedang diolah oleh Satuan Tugas Nasional REDD yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto.

Sebagai gambaran, Indonesia sudah mendapatkan dana 60 juta US Dolar (sekitar 51 Milyar rupiah) pada tahun 2011 dari Kerajaan Norwegia untuk persiapan pelaksanaan agenda REDD tersebut. Jika persiapan ini berjalan sesuai harapan, tahun 2012, Kerajaan Norwegia akan mengucurkan 30 Milyar US Dolar (2,55 Trilyun rupiah) kepada Indonesia yang harus dialokasikan sebesar-besarnya untuk kompensasi para penjaga hutan.

Kiranya kabar dana kompensasi global ini sangat mungkin bisa dikucurkan juga untuk para pelestari hutan di Pulau Bawean. Tinggal bagaimana kita menunjukkan bukti bahwa tindakan nyata telah dan sedang dilakukan untuk memastikan bahwa hutan yang tersisa di Pulau Bawean bisa terjaga dan yang sudah rusak bisa direboisasi atau dikonservasi menjadi hutan produktif. Perlu tindakan bersama yang terkoordinasi antara pemerintah dan masyarakat Bawean agar Pulau Bawean tetap layak huni hingga bergenerasi kedepan. Dan, kalau mau, melalui agenda “penjagaan hutan” Bawean bisa menjadi contoh sukses yang menginspirasi tingkat nasional dan global. Ada yang mau mulai?

0 komentar:

Post a Comment

tinggalkan pesan

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...